Kriek.. Suara geseran benda keras itu
membuat napas Rere tertahan untuk
beberapa menit, baru satu jam yang lalu dia
menginjakkan kakinya kembali di
rumah tempat ia dilahirkan. Tapi, perasaan
resah dan gelisah hinggap di
tempurung otaknya.
Perceraian orang tuanya membuat Rere mau
tak mau harus mengikuti langkah
sang ayah ke luar negri sejak dia masih
berumur 10 tahun, dan sejak saat
itu Rere tak bertemu ibu kandungnya, sampai
suatu kabar mengejutkan datang
dari saudara ibunya, bahwa perempuan
yang melahirkannya ini sudah wafat.
Dan, disinilah Rere sekarang. Berada dirumah
yang lumayan besar sendiri, rumah
peninggalan Bu Rahmi, ibu Rere.
Krieek Braak!
Rere kembali terkecoh, dia
menoleh kesekeliling ruangan, tapi
dia tak menemkan siapapun.
"Hey! Siapa itu?" Teriak Rere sedikit panik,
setelah melihat sebuah bayangan
perempuan bersekelebat.
Dengan napas memburu, dia mengikuti arah
bayangan itu menuju.
Di taman
belakang yang luas, pandangan Rere mulai
mengedar.
Puk! Sebuah tepukan di bahu kanan Rere
membuat dia terlonjak kaget.
"Ya ampun bik, ngagetin aja!" Ucap gadis
ini, saat melihat bi Ina
dibelakangnya.
Perempuan separuh baya itu tersenyum
hangat, "Maaf non, kalo ngagetin.
Saya baru saja dari pasar, maunya sih
nyiapin makanan sebelum non Rere
pulang, eh ternyata sudah keduluan!"
Rere tersenyum melihat perempuan yang
menolong kelahirannya itu, walaupun
Rere sudah tak menjumpainya 13 tahunan.
Tapi, wanita ini tak berubah.
"Yauda bik, aku kekamar dulu. Mau
beberes!"
Bi Ina mengangguk pelan, "Saya akan
menyiapkan makanan non"
*****
Rere duduk di atas ranjangnya dulu, kamar
yang sudah bertahun-tahun
ditinggalkannya.
"Kamar ini tidak berubah" Gumam Re
mengulum senyum, melihat semua
perabotan bernuansa anak-anak masih
terpajang disana. "Fuih, harus mulai
renovasi nih"
Kkriing.. Suara hapenya membuat aktivitas
Re terhenti sejenak, dia meraih
hapenya di atas kasur kemudian
mengangkat panggilan masuk itu.
"Hallo"
"........"
"Hey AR, bagaimana aku bisa lupa?
Bagaimana kabarmu?"
"........"
"Oh, iya. Aku mungkin akan menetap disini,
dan seharusnya aku disini kan?"
"..........."
"Tentu saja, aku sangat merasa senang,
sepertinya aku juga membutuhkan
bantuan!"
"........"
"Baiklah, bay."
Tuut. Sambungat terputus, gadis ini
tersenyum sumringah, kemudian dia
kembali mencopoti poster-poster gambar
hewan dan angka didinding kamarnya.
Braak.. Braak.. Semua barang-barang
ditumpuk pada dus coklat dan di lakban
untuk menjadi warga gudang.
Rere menyeka peluh di pelipisnya, sepertinya
pekerjaan ini menguras tenaga.
"Butuh bantuan?"
Rere mendongak kearah pintu, seorang
pemuda tegap berdiri bersedekap
bersandar pada pintu dengan senyum
mengembang.
Rere mengulum senyum, "Ahirnya kamu
datang juga, tentu saja aku sangat
membutuhkan bantuanmu"
"Baiklah ayo mulai bekerja.!" Ucap AR mulai
mengecat kamar itu.
******
"Sudah berapa lama kita tak bertemu?"
Tanya AR dengan senyum.
"Mungkin 13 tahunan, sudah lama sekali
ya?"
Rere menyodorkan teh pada teman lamanya
itu. Setelah merenovasi kamar,
mereka berbincang-bincang sejenak di
taman belakang sambil menikmati
secangkir teh hangat.
"Sepertinya aku harus pulang, ini sudah
sore!" Ucap AR mengahiri
pembicaraannya.
"Oh, aku tak sadar, sudah jam 5 sore.
Baiklah, terimakasih kau sudah
membantu. Aku tak tau kalau seandainya tak
ada kau tadi" Jawab Rere sambil
berdiri mengantar AR kedepan.
"Sampai jumpa"
AR melambai dari balik gerbang rumah, Rere
tersenyum kembali melambai
mengiringi kepergian AR.
Gadis ini kembali melangkah masuk,
suasana yang sepi membuat ia tenang.
"Bik, bikinin aku minum dong!" Teriak Re
pada bi Ina.
Gadis ini sekarang duduk didepan shofa ruang
keluarga menyalahkan tivi dengan
kaki berselonjor.
Sreet..
Alis Rere mengkerut, dia merasakan
ada seseorang disampingnya sedang
meniru gaya duduknya. Bahkan dia bisa
melihat kaki orang itu tepat
disebelah kakinya.
Jantung Re berdetak cepat, rasa takut mulai
menjalar. Pelan-pelan dia
melirik kesampingnya, bajunya sama persis
dengan yang dipakai Rere.
Napasnya memburu, segera dia menoleh
cepat.
"Kyaak!" Re menjeri seketika, saat dia melihat
seorang perempuan bermuka
sama persis dengannya, perempuan itu
mendelik menatap Lan, bagian dada
sampai perutnya bolong tanpa organ dalam.
Dengan banyak darah berbau busuk
menyentil hidung.
"Aarrgghh!" Jerit Re histeris, dia tak
mampu bergerak, matanya terpejam
rapat-rapat.
"Non Re! Kenapa non?"
bik Ina yang baru saja datang membawa
minuman panik melihat anak majikannya
ini berteriak histeris.
Rere membuka mata, dia mendapati bi Ina
didepannya membuat dia sangat lega.
"Bik, Aku.." Re tak bisa berkata apapun, dia
merangkul tubuh kurus itu
panik.
"Tenang-tenang mbak, cerita pelan-pelan."
Ucap bi Ina lembut. "Ini, minum
dulu" Perempuan itu menyodorkan
minuman yang dibawanya untuk Rere.
Gadis itu langsung menenggak sampai
separoh.
"Aku tadi melihat cewek duduk disamping
aku bi, wajahnya sama persis dengan
wajahku, tapi anehnya, dia tak punya organ
dalam"
"A-pa?"
Bi Ina tergagap mendengar penuturan Re,
"Non Riri!" Gumamnya lirih.
"Apa bi?" tanya Re tak mengerti ucapan bi
Ina.
"Ah, bukan apa-apa non. Saya permisi
dulu"
Perempuan separoh baya itu langsung
undur diri, meninggalkan Rere yang
tercengang.
"Riri? Siapa dia?" Gumam Rere pelan,
"Mungkin aku harus mencari tahu!"
Gadis ini berdiri dari tempat duduknya,
berjalan menuju lantai atas.
Langkahnya berhenti didepan sebuah
kamar tertutup rapat. Perlahan engsel
pintu dibukanya. Dia masuk ke kamar itu,
pandangannya mengedar pada kamar
yang pernah ditinggali mamanya tersebut.
Didinding kamar tertempel sebuah
lukisan kedua orangtuanya dan dia.
Rere tersenyum haru, seulet ingatan
memenuhi indra tentang masa lalunya saat
menjadi keluarga utuh.
Dia duduk didepan meja rias, menarik laci
bawah meja. Mengeluarkan sebuah
album usang keluarganya.
Foto demi foto dia lihat, air matanya
menetes memenuhi pipi cubinya.
Sreet.. Sebuah foto jatuh dari album, Re
meraih selembar foto itu,
memandangnya intens.
Didalam foto itu terlihat dua bayi kembar
dengan dada dan perut menempel.
Rere mendekap mulutnya, "Siapa mereka?"
Tanyanya pada diri sendiri.
Tees.. Setetes darah segar menetes pada
foto itu, Re membeku, detak
jantungnya kembali berdetak kencang.
Perlahan dia mendongak menahan takutnya,
gadis ini semakin membeku saat
melihat gadis itu lagi. Gadis dengan wajah
yang sama persis dengannya, dia
meneteskan air mata darah.
Re tercekat, seketika itu dia tak sadarkan
diri.
******
Gadis cantik ini terbangun dari pingsannya,
mengedarkan pandangan pada
seisi kamarnya sendiri.
"Non Re sudah sadar? Tadi bibi sempet
khawatir loh, mbak tadi pingsan
dikamarnya ibu. Untung tadi ada mas AR
dateng, dia nggendong Non kesini"
rere tersenyum lemah mendengar penuturan
perempuan itu.
"Sekarang AR dimana
bi?" Tanyanya.
"Dia lagi ke toilet, bentar lagi juga dateng.
Saya permisi dulu ya non,
kalo ada apa-apa panggil saya saja."
Rere mengangguk, memandang punggung
bi Ina sampai menghilang dibalik pintu.
Cekleek..
Pintu kamar mandi terbuka,
pemuda itu tersenyum saat mendapati
Rere sudah siuman.
"Syukurlah, kamu sudah sadar!" Ucapnya
pada Re.
"Heum, terimakasih banyak"
"Tak usah sungkan"
Lan mengulum senyum, "Eeuumm" Gadis ini
mulai berpikir, "AR, apa kamu mau
membantuku?" Tanyanya sedikit ragu.
"Apa? Akan aku bantu sebisaku." Jawab AR
lembut. Dia duduk di tepi ranjang
sebelah Re berbaring.
"Tadi, aku menemukan sebuah foto usang
di kamar mama. Aku penasaran dengan
foto itu, apa kamu mau mencari tahu
tentangnya?"
AR mengkerut, "Foto apa? Kamu
membawanya?"
"Entahlah, aku tadi membawanya atau
tidak," Re merogo semua saku dalam
bajunya, "Ah, ini dia" Ucapnya tersenyum,
mengeluarkan selembar foto dari
balik saku celananya.
AR menerima foto itu, memandangnya
intens. "Bayi kembar siam?"
"Iya, aku ingin tau, siapa mereka"
"Baiklah, aku akan mencari tahu, kamu
tidurlah, sekarang sudah malam."
"Eum, satu lagi!"
"Apa?"
"Aku, tadi- ah, semenjak menginjakkan kaki
dirumah ini, -sepertinya ada
yang mengawasiku"
"Apa?!" AR mulai tak mengerti dengan
perkataan Re.
"Aku seperti ada yang menemani AR,
semacam mahluk dari dunia lain" Ujar Rere
mencoba menjelaskan.
"Kamu bercanda?" Ucap AR tersenyum tak
percaya.
"Aku tak bercanda, aku melihatnya dua kali.!
Dia -perempuan itu sangat mirip
denganku. Tapi, dia tak mempunyai organ
dalam." Jelasnya sekali lagi, "Ini
semua sangat aneh bagiku" Gumamnya lirih.
AR memandang Re dalam, pikirannya
berputar mencerna semua ucapan teman
lamanya ini.
"Mungkinkah?" Gumam AR pelan.
"Mungkin apa?"
"Ah, ini hanya satu kemungkinan."
"Iya, apa?"
"Mungkin foto ini -adalah dirimu dan dia?"
Ucap AR hati-hati.
"A-p-a?" Rere ternganga.
"Itu hanya satu kemungkinan, mungkin saja
ini bukan kamu." Ujar AR cepat,
meralat ucapannya. Dia membolak balikkan
foto itu memandangnya intens.
Alisnya berkerut saat melihat sebuah tulisan
dibalik foto.
"Rumah sakit bersalin Bunda." Bacanya
pelan.
"Apa?"
"Ini ada nama rumah sakitnya. Aku bisa
mencari tahu besok"
"Aku ikut!" Kilah Re cepat.
"Baiklah, besok aku jemput. Malam ini aku
akan mencari alamatnya melalui
internet, siapa tau ada."
"Aku pulang dulu, kamu tidurlah"
"Eum, terimakasih" Ucap Gadis ini.
AR mengangguk, dia beranjak pergi dari
kamar Rere.
Rere memejamkan matanya, dia tidur dengan
posisi miring. Di belakangnya
terlihat gadis itu lagi, dia menemani dirinya
tidur malam itu, memandang
punggung Re tak berkedip.
*****
Pagi ini Rere dan AR bergerak menuju rumah
sakit bersalin bunda.
"AR, kamu yakin ini tempatnya?" Tanya Rere
ragu, saat melihat bangunan kecil
dengan satu bilik kamar rawat dan satu
ruang dokter.
"Ya, dari alamatnya sih benar" Jawab AR
mencocokkan kembali kertas yang
dipegangnya.
Rumah sakit itu tak seperti yang
dibayangkan Rere, ternyata rumah sakit
tersebut hanya sebuah klinik bersalin kecil
yang terdapat disebuah komplek
perumahan kumuh.
"Sebaiknya kita masuk dan bertanya." Usul
AR, mendahului melangkah masuk.
Rere mengekor langkah pemuda itu.
"Eum, permisi mbak, apa disini dulu pernah
menangani persalinan dengan bayi
kembar siam?" tanya AR to the poin pada suster yang
menunggu di meja resepsionis.
"Eum" Suster itu mengingat-ingat. "Sebetar
ya mas, saya akan mencarikan
datanya. Kalo boleh tau sekitar tahun
berapa?" Tanya suster itu ramah.
"Eum, kamu kelahiran tahun berapa?" Tanya
AR pada Re.
"1991" Jawab Rere.
"Baiklah, tunggu sebetar" Ucap suster itu
ramah.
"Gampang sekali meminta datanya?" Tanya Rere berbisik pada AR.
"Ini klinik kecil, jadi gampang." Jawab AR, tak
kalah berbisik. Disambut
anggukan mengerti dari Rere.
"Ini dia" Ucap Suster itu, menyerahkan
sebuah kertas pada AR.
"Terima kasih sus."
Mereka membaca dengan seksama.
"Lihat Re, ini ditulis nama ibumu." Ucap AR.
"Maaf sus, apakah tidak ada data yang lain?"
Tanya Rere penasaran.
"Maaf nona, tidak ada" Jawab suster itu
menyesal, "Tapi sepertinya, aku
sangat mengenal kasus ini. Karena hanya ibu
itu yang melahirkan bayi kembar
siam di klinik ini"
"Benarkah? Apa suster tau banyak tentang
mereka?" tanya Rere lagi dengan
wajah sangat ingin tau.
"Tentu saja, walaupun saya sudah tua, tapi
ingatan saya sangat jeli. Dulu
setelah melahirkan disini, mereka dirujuk ke
rumah sakit cipta harapan,
katanya untuk dioperasi buat misahin
bayinya." Jelas suster itu antusias.
"Apakah kami boleh meminta alamatnya
sus?" Tanya AR cepat.
"Ya.. Ya, akan saya tuliskan alamat rumah
sakitnya!" jawab Suster itu mulai
menulis. "Ini, semoga bisa membantu"
Ucapnya tersenyum ramah. Menyerahkan
secarik kertas itu pada AR.
"Terima kasih sus, anda sangat- amat
membantu." Ucap AR girang.
Setelah mendaptkan alamatnya, mereka
langsung melesat pergi dari sana.
****
"AR, apakah kita akan ke rumah sakit itu?"
Tanya Rere, mereka sekarang
sedang dalam perjalanan menuju alamat
yang diberikan suster tadi.
"Tentu saja. Memang kenapa?"
"Kurasa tak perlu, aku sudah tahu. Dan untuk
apa mencari tahu lagi?"
AR diam, "Baiklah, apapun yang kamu mau!
Kita sekarang kemana?"
"Pulang!" Jawab Rere tegas.
"Siap nyonya." Ujar AR ala supir pribadi, Rere
terkekeh pelan mendengarnya.
****
mobil AR masuk di pelataran rumah, dua
orang ini keluar secara bersamaan.
"Non habis dari mana?" Tanya Bi Ina
penasaran.
Mereka sekarang sendang berada didapur,
AR duduk di kursi makan, sedangkan
Rere berdiri menyandar meja dapur
menyaksikan bi Ina yang sedang memotong
sayuran.
"Bi, aku mau tanya sesuatu!"
"Apa Non?"
Rere melirik AR, untuk sedikit menghilangkan
kegugupannya. AR mengangguk
yakin.
"Apa aku mempunyai saudara kembar?"
Sreek, kegiatan memotong sayur bi Ina
terhenti.
"Bi, aku sudah tau semuanya. Ini, apa ini
adalah fotoku dan dia?" Rere
menyodorkan foto itu pada bi Ina.
Terdengar helaan napas berat dari
hidungnya, dia mengangguk pelan. "Ya, ini
non Rere dan non Riri." Jawab Bi Ina pelan.
"Apakah dia sudah meninggal?"
Lagi-lagi bi Ina mengangguk membenarkan.
"Non Riri meninggal saat operasi
dilaksanakan. Waktu tiu kalian hanya
mempunyai satu organ dalam, dan saran
dokter, harus memilih salah satu dari
kalian." Bi Ina menerawang, "Dan saat itu,
kondisi non Rere lah yang lebih
kuat, sehingga mau tak mau non LRiri yang
dikorbankan"
Air mata Rere menetes seketika,
"Berarti,
gadis yang menemuiku itu adalah
Riri?"
"Mungkin saja non, dia hanya ingin
menyapa non"
"Iya mungkin saja" Rere tersenyum lega.
"Baiklah, sekarang bibi mau menyelesaikan
masakan ini, non tunggu saja di
meja makan."
"Okey, aku juga sudah laper bik." Jawab Rere
tersenyum sumringah.
"Fuih" Rere menghembuskan napas lega. Dia
melenggak duduk disamping AR.
"Bagaimana? Sudah merasa lebih baik?"
Tanya AR.
"Heum" Rere mengangguk mengulum
senyum. "Sangat"
Mereka tertawa kecil bersama.
END.